Kemarin, 9 orang Ibu-Ibu dari Pegunungan Kendeng datang ke depan Istana Negara dan memasung kaki mereka sendiri dengan semen. Tapi, sebenarnya siapa mereka? Apa sih yang mereka lawan? Kenapa sih kita harus peduli?
Damar Juniarto, seorang aktivis yang telah mendampingi Ibu-Ibu dari Kendeng ini sejak 2 tahun lalu, memberi penjelasan yang singkat, padat, dan jelas soal apa yang sedang terjadi di Kendeng, dan kenapa Ibu-Ibu ini ikut melawan.
Sedikit catatan dari mas Damar setelah menghadiri aksi kemarin:
"Saya baru sampai rumah, 01.00 pagi. Belum pernah saya berada dalam kondisi emosional yang seperti ini. Masih tidak mempercayai apa yang saya alami sehari ini: apa yang saya dengar, apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan; meski rapat-rapat panjang sudah dilakukan sebelumnya, perhitungan-perhitungan dikalkulasikan, tapi tetap saja, di dalam hati saya ada yang porak poranda.
Di sini, di sofa rumah saat ini saya sedang menangis. Saya menangis karena saya bisa duduk di tempat empuk, saya menangis karena saya bisa meluruskan kaki saya yang penat, saya menangis karena saya akan tidur enak malam ini.
Saya merasa bersalah. Saya merasakan ketidakadilan.
Selagi saya di sini, 9 ibu-ibu yang telah saya dampingi lebih dari dua tahun sedang bergulat mencari posisi tidur yang nyaman dari level kayu yang kami susun sama-sama tadi. Kaki mereka pasti pegal dan bengkak. Bagaimana tidak, mereka harus tidur dengan pasung semen masih melekat di kaki-kaki mereka yang merdeka.
Saya ingat almarhumah ibu saya. Saya ingat semua perempuan dalam hidup saya. Saya ingat ibu-ibu itu lagi.
Siang tadi mereka berjejer satu demi satu selagi adukan semen diratakan di kaki mereka. Ada yang menahan takut. Ada yang berusaha tenang. Tapi saya sangat tahu, di dalam hati mereka cemas. Mencemaskan kemerdekaan yang hilang akibat dipasung semen. Tapi aneh, mereka bilang sendiri: "Disemen seperti ini tidak apa-apa daripada alam lingkungan dirusak demi semen."
...
Saya tak pandai bicara banyak tentang ibu-ibu ini kecuali satu: mereka telah rela melakukan apa saja demi kelestarian alam Kendeng.
Lalu jauh, jauh, jauh di dalam lubuk hati, saya bertanya: sampai sejauh apa saya rela melakukan apa saja demi menjaga lingkungan saya: dari penggusuran, dari reklamasi, dari pembangunan tak bernurani.
Benar kata mas Sandyawan Sumardi, sebagai laki-laki seharusnya saya MALU.
Saya menangis tepatnya menangisi betapa kecilnya saya bila dibandingkan kerelaan 9 ibu dalam berjuang yang saya temui tadi."
Video oleh Pamflet Generasi