Saya ingin membawa cerita Papua untuk dunia. Cerita dari Papua harus menginspirasi setiap orang untuk terus berjuang demi keadilan dan perdamaian! Saya memperkenalkan video-video karya Papuan Voices kepada para peserta SCFFI.
Ketika mengikuti SCFFI di Ubud, Bali, saya belajar bersama Jonathan Stack tentang story teling. Dan, SCFFI 2012 ini, saya belajar tentang memproduksi dan menjual ide ke acara Televisi dengan Dee LaDuke & Mark Alton Brown.
Ini workshop yang sangat menarik untuk saya. Saya mendengar presentasi dari Dee dan Mark tentang program Televisi. Dee presentasi, dan Mark sering menyelah diskusi Dee dengan para peserta workshop untuk melengkapi. Saya sedikit terkejut, ketika Mark bicara soal sosiologi film dengan menyebut Papuan Voices sebagai contoh pendekatan sosiologis di dunia sinematografi.
Dalam workshop ini, saya menemukan beberapa ide untuk mendukung program Papua Voices dan Papuan Calling di Papua. Saya ingin memproduksi serial video Papua Calling dengan menggunakan pendekatan acara Televisi dan story teling. Saya pikir, ini sangat penting untuk melindungi dan promosi cerita kebudayaan orang Papua dan mengadvokasi berbagai persoalan keadilan sosial, lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Dan, saya juga bergabung dalam workshop “Perempuan dan Pembuatan Film untuk perubahan sosial”. Ini adalah sebuah workshop dimana saya bersama para peserta lain membicarakan tentang perempuan dan perang, pendekatan untuk media untuk meliput isu ingkungan, dan pengenalan screenwriting dengan penekanan lebih pada tema keadilan sosial. Saya banyak bercerita tentang situasi hidup orang asli Papua yang hidup dengan ketakutan di Papua. Bagi saya, orang asli Papua hidup dengan ketakutan, karena militer dan polisi Indonesia sering menangkap, menyiksa dan membunuh orang Papua yang dianggap tidak mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia.
Selain itu, saya bergabung bersama tim yang dipimpin oleh Michael Yonchenko untuk merekam kegiatan SCFFI di Dillard University dan Loyola University. Selain saya, ada juga Fernando Barbosa dari Bolivia dan Jeremy Stern dari California. Kami menjadi tim yang kompak. Saya dipanggil sebagai saudara laki-laki dari Michael Yonchenko Fernando Barbosa, dan Jerremy Stern. Begitu pula saya memanggil mereka. Kami adalah saudara dari bapa dan mama yang berbeda.
Solidaritas yang dihidupi diantara tim yang dipimpin Michael Yonchenko ini membuat kami, anggota tim, untuk berpikir kreatif dalam bekerja dan memikirkan sesuatu karya. Kami bikin kampanye kecil tentang perjuangan masyarakat Indian. Kami mewawancarai Chief Warhorse. Michael Yonchenko, Fernando Barbosa dan Jeremy Stern menjadi juru kamera, sementara saya yang masuk di masuk dalam layar kamera.
Saya muncul di depan kamera, bercerita dengan Chief Warhorse, ketua Komunitas Indian Amerika. Ini pengalaman pertama saya bercerita dalam bahasa Inggris di depan kamera. Saya gugup, tapi situasi dan dukungan dari ketika saudara saya, bikin saya menjadi nyaman untuk bicara di depan kamera. Sesi bercerita ini pun menjadi sebuah dialog dari hati ke hati antara dua orang yang punya masalah yang mirip. Ini bukan lagi sebuah sesi tanya jawab. Saya membuka wawancara ini dengan bercerita tentang situasi di tanah Papua.
“Di tanah Papua Barat, kami, orang Papua, hidup dengan rasa takut. Hampir setiap hari, saudara kami, atau kawan kami ditangkap, disiksa dan dibunuh oleh militer dan polisi Indonesia.”
“Ok…saya bisa bayangkan”
“Tanah kami dicaplok. Kami berteriak sebagai protes, tapi Pemerintah Indonesia tidak mau mendengar, bahkan kami diberi stigma separatisme.”
“Hal ini sama seperti yang kami, orang Indian Amerika, rasakan. Kita punya pengalaman yang mirip
“Menurut saya, persoalan ketidakadilan yang dialami, bukan persoalan pembangunan yang tidak merata dengan daerah-daerah di luar Papua, seperti di pulau Jawa misalnya. Tapi persoalan martabat dan harga diri orang asli Papua yang sedang ditindas”.
“Bagaimana dengan masalah Freeport McMoran? Apakah apa yang kami, orang Indian, alami di New Orleans mirip dengan orang Papua?”
“Saya belum tahu persis. Tapi, PT. Freeport investasi di tanah Papua tanpa persetujuan kami. Kami dipaksa oleh Pemerintah Indonesia melalui militernya untuk harus menerima PT. Freeport, padahal kami belum resmi sebagai bagian dari Indonesia. Hal ini terjadi pada tahun 1967. Kami menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1969. Sekarang, ada beberapa kelompok aktivis di Indonesia yang minta untuk PT. Freeport dinasionalisasi. Saya kira mereka salah sekali. Seharusnya para aktivis itu berjuang supaya orang Papua tidak mengalami penindasan dengan kehadiran PT. Freeport, nasionalisasi bukan solusi.”
Begitulah sedikit percakapan saya dengan Chief Warhorse.
Dan, selepas berbincang-bindang dengan Chief Warhorse, saya, Michael Yonchenko, Fernando Barbosa, dan Jeremy Stren pergi makan siang di Restoran Commel. Restoran Commel memang jadi tempat favorit kami. Pelayannya sangat rama. Kami pesan jambalaya. Ketika kami sedang menunggu jambalaya pesanan kami, Michael Yonchenko dan Fernando Barbosa memperkenalkan “Salam Bilogai” kepada para pelayanan restoran. Seorang pelayan tampak bersemangat sekali untuk mempraktekan “Salam Bilogai” kepada para tamu lain. Ini pengalaman yang luar biasa. Semua tamu restoran mempraktekan salam bilogai. Hal yang sama juga saya alami pada keesokan harinya, ketika makan pagi di Restoran Commel ini. Selain di Restoran Commel, saya dan Fernando memperkenalkan “Salam Bilogai” kepada para peserta SCFFI di Restoran Mexico.