Migrant adalah orang yang berpindah dari wilayah lahir ke wilayah lain dengan maksud untuk bekerja. sehingga dikenal dengan Migran Internal yang merantau dari daerah ke daerah lain dalam Negara Indonesia dengan maksud bekerja dan adapula Migran Internasional yang keluar negeri dengan maksud bekerja. Migran Internasional inilah yang disebut sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau ada pula disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW). Belakangan disebut sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI).
Berdasarkan hasil penelitian Walk Free Foundation (WFF) – Australia pada tahun 2013, bahwa Indonesia adalah salah satu dari 114 negara di dunia yang menggunakan praktek perburuan modern. Dalam penelitian tersebut, di releas juga bahwa terdapat 210.000 warga Negara Indonesia bekerja sebagai Budak di Luar Negeri. Hal ini singkron dengan penelitian Global Slavery Index yang di releas tahun 2014 yang menyebutkan bahwa Korban perbudakan modern pada tahun 2014 meningkat 300 % dari tahun sebelumnya (2013). Setidaknya terdapat 210.970 orang pada tahun 2013, meningkat menjadi 714.300 pada tahun 2014.
Catatan Migrant Care tahun 2013 menyatakan bahwa ada 398.270 kasus yang menimpa BMI di luar negeri selama setahun terakhir. Jumlah tersebut dari 6,5 juta WNI yang bekerja sebagai BMI di luar negeri. Dan 84 % dari jumlah tersebut adalah kaum Perempuan atau TKW.
Dari hal tersebut, Alam Ntara Institute bekerjasama dengan EngageMedia menginisiasi untuk mengadakan Bedah Film ‘Crossroads’ sekaligus Diskusi tentang Isu dan Fenomena Buruh Migran di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Bedah Film dan Diskusi yang diadakan di Kedai Kalikuma – Mataram, pada hari Rabu, 29 Juli 2015 tersebut menghadirkan Pembicara, Endang Susilowati, SH, Aktifis Lembaga Pancakarsa yang intens melakukan kajian dan advokasi BMI di NTB sejak tahun 2004. Juga sebagai pembicara pembanding, Paox Iben Mudhaffar, Budayawan NTB, Novelis, sekaligus Penggiat dan Peneliti masalah-masalah Konflik di NTB melalui ‘Rumah Arus’ nya. Diskusi ini dipandu oleh saya sendiri sebagai Moderator.
Film ‘Crossroad’ (Persimpangan jalan) adalah sebuah Film Dokumenter Testimoni tentang hiruk pikuk BMI dibeberapa Negara Asean. Film ini diproduksi sendiri oleh BMI, termasuk dalam penggalian Ide, proses Syuting, Editing hingga promosi. Pembuatan Film ini cukup lama, 1 tahun untuk sebuah Film Dokumenter Testimoni.
Dari beberapa testimoni yang ditayangkan dalam film tersebut, menurut Ibu Endang, kerap dirasakan oleh BMI dengan Paspor Melancong. Istilah Paspor Melancong ini biasa didengar dari para BMI Malaysia, yaitu Paspor wisata. “Karena sebagai wisatawan, tentu tidak lama, namun para BMI lebih mudah mendapatkan Paspor Melancong ini yang kemudian digunakan untuk bekerja” jelas Endang yang sudah melalang buana bolak balik Lombok – Malaysia ini.
Dilain sisi, berdasarkan fakta-fakta pengakuan dalam Film tersebut, bahwa dugaan Trafficking itu cukup tinggi dengan Modus Potong Gaji. Hal itu didasarkan dari testimoni sebagian besar BMI yang diusir dari Malaysia. PJTKI dengan mudahnya melakukan kongsi dengan Agency yang ada. “Potong Gaji sekian bulan, setelah itu dipindahkan lagi dari majikan yang satu ke majikan yang lain. Sehingga selama itu BMI tidak terima gaji sekalipun” Tegasnya.
Menurut Paox Iben, apa yang dijelaskan oleh Ibu Endang itu diakui benar adanya akibat rendahnya martabat bangsa Indonesia melalui para BMI. Meskipun tidak semua BMI mengalami perlakukan yang sama dan mendapatkan kasus-kasus yang disebutkan, namun tentang Perbudakan Modern tersebut, Paox berkeyakinan atas adanya By Design.
Apalagi jika kita membaca UU Nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan Perlindungan Buruh Migran. Dalam UU tersebut, hanya satu pasal yang berbicara tentang Perlindungan Buruh Migran. Selebihnya adalah Pasal Usaha dan ratifikasi. “Itu pun karena Konvensi Buruh Migran baru di Ratifikasi setelah 13 tahun diperjuangkan. Ini konyol, sebab, Kebijakan Migran Indonesia merupakan warisan Orde Baru yang sifatnya mengerahkan dan Penguasaan bukan perlindungan” Tegasnya.
Menurut Catatan Migran Care menyebutkan bahwa Indonesia menduduki Rangking ke 8 sebagai Negara yang warganya diperbudak (2014). Hal ini disingkronkan dengan Testimoni beberapa BMI dalam Film ‘Crossrods’ tersebut yang menyatakan bahwa mereka bekerja siang dan malam dengan upah yang tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan.
Diskusi hangat tersebut berlangsung selama 4 jam lebih. Menjadi alot ketika Paox Iben menuturkan tentang kajian Folosofis, Sosiologis, Antropologis serta Geografis atas BMI. Menurut Paox Iben, Simbolitas atau ‘gelar’ BMI harus diubah yang akan diikuti oleh perubahan mindset dan paradigma berpikir masyarakat tentang para BMI ini. “mereka tidak boleh lagi dianggap sebagai Pahlawan Devisa, sebab, tanpa dinyatakan demikian pun mereka dan kita semua pun adalah pahlawan pada masing-masing bidang. Pemerintah harus mendorong Istilah ‘Duta Kebudayaan’ kepada para BMI agar selaras dengan target peningkatan Martabat Indonesia di luar negeri. agar BMI kita dihargai dan diperlakukan sebagaimana layaknya seorang Duta Wisata” Tegas Paox.
Hal ini menanggapi beberapa pertanyaan Audience serta data Lembaga Panckarsa yang menyatakan bahwa Transaksi dari BMI yang masuk ke NTB dalam setiap hari adalah lebih kurang Rp 3 Miliar atau lebih kurang Rp 1,5 Triliun dalam setahun. Hal tersebut baru melalui transaksi per-Bank-an, belum lagi uang yang dibawa tangan oleh para BMI yang pulang cuti atau pulang tidak lagi menjadi BMI.
Dari Diskusi tersebut menghasilkan beberapa Point penting sebagai rekomendasi atau semacam Kesepakatan bersama bahwa:
1) Migran adalah sesuatu yang perlu diadvokasi lebih jauh dan luas, karena hal ini penting untuk menjadi perhatian bersama seluruh pihak. Sebab, NTB adalah salah satu daerah penyuplai Migran Internasional di berbagai Negara.
2) Tentang strategi Kebudayaan dalam mengubah Mindset dari ‘Pahlawan Devisa’ menjadi ‘Duta Kebudayaan’ sekiranya harus dilakukan berbagai upaya membangun Opini sosial agar Pemerintah baik pusat maupun daerah tergerak hatinya untuk menyiapkan warga masyarakat yang akan bekerja ke Luar Negeri agar memiliki Kreatifitas Seni dan kebudayaan yang Inovatif.
3) Dari diskusi yang dilakukan, besar harapan terbentuknya atau menyebarnya lembaga atau Wadah yang consent terhadap advokasi dan Konsultasi serta jalinan kemitraan terkait pengembangan potensi dengan para ‘Alumni’ BMI maupun calon BMI. Sehingga para BMI yang akan segera selesai masa kontrak dan kembali ke Indonesia telah memiliki rencana untuk membangun apa. Berdasarkan hasil komunikasi dan konsultasi potensi dengan lembaga atau wadah yang dimaksud.
Diskusi yang membicarakan tentang banyak hal mengenai kendala, hambatan, serta peluang sebagai seorang BMI yang diselenggarakan tersebut menyadarkan kita semua, bahwa penting untuk terus melakukan upaya sosialisasi dan interaksi yang lebih berkesenambungan dengan berbagai pihak dalam menyikapi setiap persoalan tentang BMI ini. Para ‘Pahlawan Devisa’ tanpa perlindungan Negara yang berarti. Dan akan menjadi sangat berarti bila pemerintah menyiapkan mereka sebagai ‘Duta Kebudayaan’. Martabat dan Harga diri bangsa Indonesia pun dihormati dan di hargai.
Kedai Kalikuma – Mataram, 29 Juli 2015.