Oleh Yerry Borang and Egbert Wits
Apakah penggunaan Whatsapp adalah langkah aman bagi wartawan untuk memberikan pertanyaan tambahan pada seorang narasumber? Adakah aplikasi alternatif lain yang lebih aman? Apakah bekerja dengan resiko membahayakan bisa dikatakan normal bagi para wartawan? Amankah jika para wartawan dibiarkan berbagi komputer di kantor redaksi mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dalam dua periode wawancara dengan sejumlah wartawan di Indonesia sebagai bagian dari riset oleh EngageMedia mengenai keamanan digital wartawan.
Sebelumnya di tahun 2017, kami bekerja sama dengan Citizen Lab, untuk berdiskusi dengan wartawan-wartawan dari Papua, Aceh, dan Jawa Tengah untuk mendalami masalah terkini mengenai keamanan bekerja sebagai wartawan. Enam belas wartawan kami wawancarai, kami fokus pada persoalan keamanan digital dan bagaimana wartawan menggunakan teknologi (dengan aman). Selain di Indonesia, riset ini juga kami jalankan di Filipina.
Meskipun jumlah situs yang membantu kualitas keamanan pekerjaan kita sudah bertambah, namun ada diskusi yang terlewatkan, yakni mengenai pro dan kontra dari keamanan digital bagi wartawan, serta tentang berbagai kendala keamanan digital yang mereka hadapi di era cepatnya arus informasi dan instant deadline. Kami berharap bahwa hasil riset yang kami sebarkan ini dapat berkontribusi bagi diskusi ini. Mari kita mulai dengan menelaan latar belakang Pendidikan para wartawan.
Pendidikan Jurnalisme
10 dari 16 wartawan yang kami wawancarai memiliki latar belakang Pendidikan di program studi jurnalisme. Mereka mendapatkan materi perkuliahan seputar keselamatan fisik dalam proses peliputan, namun materi mengenai keamanan digital sepenuhnya absen. “Tidak ada perhatian sama sekali terhadap keamanan digital selama saya mengecap Pendidikan jurnalisme” (Jakarta no. 2). Ketika menelaah program-program studi jurnalisme di beberapa universitas di Jawa [1] hari ini, kami tidak menemukan satupun institusi yang memiliki materi ajar mengenai keamanan digital atau keselamatan wartawan. Ketika job training, mungkin? Sayangnya juga tidak. Tak satupun perwakilan pihak media yang kami wawancarai mengatakan bahwa mereka memberikan pelatihan esktra mengenai isu keselamaan dan keamanan. Pengetahuan yang beredar mengenai keamanan digital sunggguh minimal dan pengetahuan itu diperoleh biasanya dari diskusi sesama wartawan. Umumnya, para wartawan mulai mempelajari atau mencari informasi tentang keamanan digital dan keamanan kerja setelah mereka merasa terancam, dilecehkan, atau pengalaman negatif lain akibat dari pekerjaan jurnalistik mereka.
Minimnya pelatihan mengenai keamanan online dan offline adalah fakta yang mengkhawatirkan mengingat kondisi keselamatan wartawan di Indonesia ada dalam kondisi genting. Human Rights Watch melaporkan [2] bahwa angka kekerasan terhadap wartawan meningkat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah lembaga swadaya masyarakat bagi para wartawan, melaporkan bahwa ada 78 insiden kekerasan terhadap wartawan pada tahun 2006 [3], termasuk dilakukan oleh aparat keamanan. Sebuah peningkatan tajam dibandingkan dengan 42 insiden di tahun 2015, dan 40 di tahun 2014. AJI menemukan bahwa hanya sedikit dari 78 pelaku kekerasan yang berhasil diadili. Jadi, meskipun sudah ada beberapa produk hukum [4] yang melindungi profesi wartawan, akses pada keadilan masihlah sulit diraih.
Smartphones
Semua wartawan yang terlibat dalam riset kami sangat bergantung pada smartphone untuk berkomunikasi dan merekam wawancara. Nomor kontak narasumber juga disimpan di sana. Grup percakapan Whatsapp adalah sumber informasi penting karena menjadi tempat berbagi informasi yang efektif. Hanya tiga dari enam belas wartawan percaya bahwa data dalam telepon genggam mereka akan aman juga digunakan dengan benar. Metode keamanan seperti encrypted messaging tidak diketahui secara luas, meskipun umumnya para wartawan sadar bahwa informasi sensitif lebih baik tidak disirkulasikan melalui aplikasi mobile chat atau SMS. “Pesan penting lebih baik tidak dikirim lewat SMS. Agar aman.” (Papua no. 1)
Ironisnya, umumnya para wartawan sadar bahwa keamanan gadget mereka rentan karena mudah diakses oleh orang lain ataupun diretas oleh pihak yang ingin menginvestigasi data yang mereka miliki. Namun, tidak banyak yang mereka lakukan untuk mencegahnya, dan mereka hanya bisa berharap yang terbaik: “Saya hanya berharap bahwa menggunakan Whatsapp akan aman-aman saja, Saya menggunakannya karena tidak ada alternatif lain” (Jakarta no. 2). Wartawan lain mencoba lebih waspada: “Kami harus lebih mawas diri dalam menggunakan aplikasi dan peralatan digital” (Jakarta no. 7). Tapi umumnya para wartawan tidak begitu peduli. Hanya enam dari enam belas mengatakan “Ya” ketika ditanya apakah mereka berprasangka bahwa keamanan data digital maupun keselamatan fisik mereka mudah terancam sehubungan dengan pekerjaan jurnalistik mereka, kurangnya langkah pencegahan ini begitu mengejutkan. Hampir semuanya menganggap situasi yang sebetulnya berbahaya ini sebagai hal yang biasa saja.
Memisahkan yang Personal dari yang Profesional
Sebelas dari enam belas wartawan menggunakan nomor pribadi dan atau akun sosial media mereka dipakai untuk rutinitas pekerjaan sebagai wartawan. Meskipun banyak yang berpendapat bahwa lebih baik memisahkan akun dan nomor telepon pribadi dengan akun dan nomor untuk bekerja, berbagai alasan membuat mereka tidak mengindahkan prinsip ini. Kenyamanan, seringnya bekerja di luar jam kerja, kedekatan sesama wartawan, dan peralatan kantor yang tidak menunjang menjadi alasan bagi penggunaan nomor dan akun pribadi untuk urusan pekerjaan.
Sehubungan dengan ketidakmampuan wartawan untuk memisahkan akun dan nomor pribadi dan profesional, beberapa wartawan terpaksa harus menonaktifkan akun sosial media mereka, bahkan ada yang menghapusnya. “Saya sudah menghapus semua akun media sosial saya. Sudah tidak punya akun Twitter lagi, begitu juga dengan Facebook dan Instagram. Biar aman saja.” (Jakarta No. 5). Para wartawan juga menyebutkan bahwa mereka sering menjadi korban bully atau menerima ancaman melalui akun sosial media mereka. Juga, detil informasi pribadi mengenai wartawan (anggota keluarga, alamat, dan tempat nongkrong favorit, dsb) dengan mudah ditemui secara online. Sebuah pertanyaan besar apakah kondisi ini bisa ditangani, mengingat nama dan identitas wartawan sering muncul seiring terbitnya artikel mereka di Indonesia. Lewat pencarian sederhana di Google saja, informasi pribadi kita bisa terkumpul dengan mudah.
Keamanan Data
Hanya lima dari enam belas wartawan menyebutkan bahwa perusahaan mereka menerapkan kebijakan yang spesifik mengenai penggunaan perangkat lunak, administrasi online, dan penyimpanan data. Detilnya, hal ini berarti soal penamaan file (pengarsipan dan penyimpanan database) dan perekaman kata kunci yang digunakan untuk menerbitkan artikel. Sebagian besar wartawan menggunakan laptop, smartphone, dan kartu SD pribadi atau peralatan pribadi lain untuk menyimpan data. Hampir semua responden menggunakan perangkat lunak data online (Google Drive atau Dropbox) untuk menyimpan back up data mereka.
Mengenai keamanan data, komentar ini sangat penting: “sebaik apapun kami mengamankan data dalam perangkat elektronik, tetap akan ada orang-orang yang mampu meretasnya” (Jakarta no. 10). Wartawan terlihat memahami adanya bahaya, namun mereka merasa hanya sedikit yang bisa mereka lakukan untuk menanganinya. Para wartawan sudah terlalu terbiasa dengan menyimpan data dalam smartphone pribadi mereka, dan kurangnya alternatif sistem pengamanan, adalah kesepakatan para responden tentang perilaku mereka dengan data digital. Tak satupun perusahaan media tempat para wartawan bekerja membuat aturan ketat mengenai keamanan digital, berbagi komputer di ruang redaksi dipandang sebagai aktivitas yang dianggap wajar. Bahkan kata kunci untuk mengakses komputer tersebar, untuk berjaga-jaga jikalau ada masalah dengan computer atau jika file tertentu butuh diakses wartawan lain. Kesimpulannya, keamanan penyimpanan data tidak dipertimbangkan sebagai sebuah isu penting.
Jakarta vs Daerah
Ada perbandingan yang kontras antara paktik kewartawan di Ibukota Indonesia, Jakarta, dengan di kawasan-kawasan lain Indonesia. Wartawan-wartawan di Jakarta merasa diri mereka lebih aman dalam menjalankan praktik kewartawanan, sedangkan wartawan-wartawan dari kawasan lain, atau yang biasa disebut “daerah”, merasakan lebih banyak bahaya yang mengancam mereka. “Bekerja di luar Jakarta itu masih bahaya. Teman saya wartawan di sana sering menerima terror. Tapi di Jakarta, kami masih cukup aman” (Jakarta no. 3). Ancaman paling bahaya yang mereka sebut datang dari penguasa lokal. Misalnya, pelaku industri lokal, orang pemerintahan lokal, pebisnis lokal yang bekerja di bidang ekstraksi sumber daya alam, dan kelompok-kelompok ekstrimis lokal.
Kami berpendapat bahwa kondisi kontas antara praktik kewartawanan di Jakarta dan kawasan lainnya utamanya dikarenakan oleh perbedaan level akses internet dan akses masyarakat pada informasi. Sebagai tambahan, berbagai kejadian di Jakarta dengan cepat menjelma menjadi isu nasional. Tetapi di “daerah”, karena penetrasi internet lemah dan akses pada informasi lebih sulit. Yang terjadi di level lokal, tetap menjadi lokal; memberikan kesempatan bagi aktor-aktor lokal lebih bebas untuk berkuasa.
Perangkat Lunak Ilegal
Membuat wartawan-wartawan di Indonesia untuk menggunakan perangkat lunak yang legal sungguh merupakan tantangan besar. Hampir semua wartawan menggunakan bajakan, artinya mereka tidak mendapatkan up-date sistem keamanan, dan proteksi dari live malware juga tidak up date.
Kesempatan
Selain menyediakan perangkat lunak asli, pimpinan media juga harus menyediakan pendampingan lebih kepada wartawan. Kelompok diskusi bulanan untuk mendiskusikan dan menginvestigasi isu-isu keamanan digital bisa menjadi solusi. Juga, ada beberapa kursus mengenai perangkat lunak dan internet di luar sana, tapi jika pimpinan media tidak mendorong wartawannya untuk meningkatkan level keamanan data mereka, keadaan tidak akan berubah.
Kesimpulan
Kesimpulan dari mewawancarai para wartawan Indonesia adalah, para wartawan menganggap isu keamanan digital dengan santai. Ditambah dengan adanya persepsi bahwa tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki keadaan, membuat situasi menjadi lebih buruk. Sangatlah penting bagi para wartawan untuk mau lebih memahami bahwa lemahnya keamanan digital bisa berdampak buruk. Bukan hanya bagi wartawannya sendiri, namun juga bagi narasumber, keluarga, pemilik media dan publik pada umumnya.
1. Diantaranya, kami meninjau UGM (Yogyakarta), Unpad (Bandung), UI (Jakarta). Ini link sebuah kurikulum dari program studi ilmu komunikasi, Universitas Atma Jaya (Jakarta).
2. Baca:https://www.hrw.org/news/2017/04/25/indonesia-journalists-under-assault
3. Angka ini hanya menghitung kekerasan yang dialami oleh wartawan “professional”. Banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan di mana korbannya adalah jurnalis warga atau wartawan freelance.
4. Contohnya: pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa negara melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sumber hukum perlindungan terdapat wartawan juga terdapat pada Undang-undang HAM, UU No. 39 (1999), Undang-undang pers UU No. 40 (1999), dan Undang-undang Penyiaran.