Search
Close this search box.

Persepsi tentang Keamanan dan Keselamatan Profesi Wartawan di Filipina

National Press Club of the Philippines

Filipina secara konsisten selalu masuk di puncak daftar negara-negara paling berbahaya bagi profesi wartawan dan pelaku media. International Federation of Journalists (IFJ), misalnya, mendudukan Filipina sebagai negara paling berbahaya kedua di dunia bagi wartawan. [1]

Menurut Committee to Protect Journalists (CPJ), 77 wartawan telah terbunuh di Filipina sejak 1992, 75 wartawan dibunuh, dan 68 kasus berakhir dengan impunitas. [2]. Centre for Media Responsibility and Freedoms (CMFR) mengelola sebuah database tentang pembunuhan wartawan di Filipina sejak 1986Database itu melaporkan adanya 151 upaya pembunuhan sejak 1986 [3] yang mengancam 68 wartawan radio dan 58 wartawan cetak [4]. 57 persen pembunuhan terjadi di wilayah Mindanao, Filipina Selatan.

Kasus impunitas yang paling menonjol dalam pembunuhan wartawan di Filipina adalah kejadian pembantaian di Ampatuan (atau pembantaian Mindanao) di mana 58 orang terbunuh, 32 diantaranya wartawan, pada 23 November 2009. Sampai 5 Januari 2016, 113 dari 197 orang yang menjadi tersangka pembantaian telah ditangkap tapi proses pengadilan masih berlangsung dan terkesan dihambat dan diperlambat [5].

Untuk mengeksplorasi topik ini, dari Juni hingga Juli 2016, berbagai wawancara dengan sejumlah wartawan kami lakukan di Filipina untuk memahami bagaimana persepsi mereka mengenai keamanan dan keselamatan kerja jurnalisme di sana, serta bagaimana strategi mereka untuk menjaga keselamatan.

Tentang Responden

  • Para wartawan yang kami wawancarai adalah campuran antara wartawan tetap dan paruh waktu. Sepuluh wartawan tetap berasal dari beragam perusahaan media, satu seorang pemandu acara televisi, dan tiga wartawan paruh waktu yang secara reguler mengirimkan berita baik kepada media mainstream maupun independen.
  • Ada tujuh wartawan yang bekerja untuk media online, dan empat wartawan bekerja untuk stasiun radio, hampir semuanya mempunyai pengalaman bekerja untuk media cetak, penyiaran, video dan kantor berita radio.
  • Para responden termasuk wartawan-wartawan yang sudah berpengalaman. Enam responden pernah bekerja sebagai wartawan selama sepuluh sampai enam belas tahun, empat responden sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun, dan hanya empat wartawan yang menjadi wartawan kurang dari sepuluh tahun.
  • Hampir semua responden menjelajahi ruang peliputan yang sangat luas, di dalam maupun di luar Filipina. Dua puluh wartawan menguasai area liputan Manila dan kawasan ibukota (National Capital Region); enam responden menguasai area liputan Filipina tengah – Visayas (Bacolod, Iloilo, Tacloban); dan tiga responden memiliki area liputan Mindanao. Tiga dari responden juga memiliki area liputan di luar Filipina.
  • Tema peliputan para responden juga sangat bervariasi. Enam diantaranya fokus pada politik (pemilihan umum, pemerintahan, pemerintahan lokal, dan hukum); enam lainnya fokus pada bidang hak azasi manusia (hak buruh, hak masyarakat adat, hak perempuan, dan hak anak-anak); lima responden fokus pada isu perdamaian dan penanganan konflik, lebih spesifiknya isu negosiasi Bangsamoro dan National Democratic Front (NDF) dengan pemerintah Filipina.

Narasumber Utama dan Cara Berkomunikasi dengan Mereka

Semua responden sepakat mengenai pentingnya mendapatkan narasumber langsung dari tangan pertama. Beberapa responden menyebutkan bahwa mereka menggunakan sosial media untuk mendapatkan akses ke narasumber-narasumber utama dalam proses peliputan.

Para responden juga sepakat bahwa mendapatkan dan menjaga akses ke sumber utama butuh kerja keras dan ketekunan.

Semua responden memilih untuk mengontak narasumber secara langsung: wawancara tatap muka. Namun, adakalanya keamanan untuk kedua belah pihak yakni narasumber dan wartawan terancam. Dalam kondisi ini, mereka memilih untuk berkomunikasi lewat telepon atau SMS. Selain itu, mereka menggunakan sosial media (pesan pribadi di Facebook atau direct message di Twitter) untuk menginiasi kontak dengan narasumber, atau untuk membuat janji pertemuan.

Semua responden menggunakan beragam cara dan beragam perangkat untuk menyimpan informasi yang mereka kumpulkan dari narasumber mereka. Tak satupun yang dari mereka menggunakan perangkat enkripsi (encryption tools).

Salah satu tantangan yang ada di Filipina adalah, menurut beberapa responden, minimnya peredaran informasi terpercaya di ruang publik (open data) dan sulitnya mendapatkan data statistik dan informasi lain dari pemerintah. Memiliki kontak dengan orang-orang di dalam instansi-instansi pemerintah menjadi sangat penting, meski tidak selamanya bisa terwujud.

Seorang responden berkata: “Biasanya kami bergelut dengan sulitnya mengakses kantor-kantor pemerintah. Tak ada yang lebih sulit daripada itu. Untuk mendapatkan dokumen pemerintah, terkadang kita malah meminta ke organisasi lain. Contoh dari penolakan dari pemerintah, misalnya, Saya ingat bahwa Noynoy Aquino menolak peliputan media sewaktu inagurasi. Kamu butuh kesabaran yang sangat besar bekerja di sini. Saya pernah diminta untuk menunggu enam jam untuk wawancara lima belas menit. Kamu harus ngotot dan mengerjakan apapun yang kamu bisa, dan harus selalu menelpon dan mengingatkan mereka.”

Ada tantangan yang berbeda bagi wartawan yang meliput area di luar kawasan urban di Filipina. Seorang responden mengatakan: “… Jika kamu wartawan dari daerah pinggiran dan kamu ingin mendapatkan informasi resmi dari pemerintah pusat, kamu harus pergi ke pusat kota. Kadang-kadang, meskipun ada kejadian di daerah, dan kami membutuhkan pernyataan dari pemerintah, media-media di pusatlah yang pertama-tama mendapatkan pernyataan resmi. Sudah menjadi norma juga bahwa pemerintah membagikan informasi ke media yang mereka suka. Hal ini juga berlaku bagi pihak kepolisian dan militer, mereka ingin informasi yang disebar selalu merujuk pada pernyataan resmi dari kantor, dan itu selalu datang dari pusat. Sangat sulit bagi kami di daerah untuk mendapatkan akses informasi resmi, oleh karenanya kami memperbesar akses kami ke komunitas akar rumput. Banyak juga agensi-agensi yang tidak memiliki cabang di level provinsi. Kamu butuh waktu untuk mengakeses mereka, kalau kamu ingin menekan mereka agar meluangkan waktu, kamu butuh kolega di kota untuk membantumu. Jika kamu ingin mendapatkan pernyataan dari Commission of Human Rights, mereka tidak punya cabang di provinsi, jadi kita harus menggunakan koneksi kita untuk menjangkau mereka. Namun meskipun kamu bisa menjangkau mereka, sulit juga untuk mendapatkan kepercayaan mereka, berhubung mereka tidak kenal kita. Jika kita mencoba untuk mencari informasi di dalam situs mereka, karena mereka seharusnya menyediakan informasi di sana, kamu juga tidak akan mendapat apa-apa.”

Persepsi tentang Keselamatan dan Strategi Mitigasi

Ketika diajukan pertanyaan mengenai ancaman-ancaman apa yang mereka hadapi dalam pekerjaan, para wartawan memberikan jawaban yang bervariasi:

  • Keselamatan fisik adalah yang utama. Tidak mengejutkan, mengingat Filipina selalu masuk ke dalam daftar negara-negara di mana wartawan bisa terancam nyawanya.
  • Seorang responden mengatakan bahwa kantor medianya pernah diretas.
  • Beberapa mengatakan pernah diprovokasi, diawasi, dan diancam.

Beberapa responden mendapatkan pelatihan mengenai keselamatan dari institusi dimana mereka bekerja, jadi mereka memiliki kesadaran akan resiko ancaman bahaya dan menguasai sedikit kemampuan taktik mitigasi. Teknik mitigasi itu berguna untuk melindungi keselamatan fisik maupun data digital. Antar wartawan biasanya saling membagi taktik ini.

Salah seorang responden mengatakan: “Saya mencoba, meskipun sulit, untuk setidaknya mengganti kata kunci akun-akun media sosial secara rutin. Menggunakan kata kunci yang berbeda untuk tiap akun. Sistem keamanan akun yang berlapis juga itu sangat membantu – verifikasi akun lewat telepon, lewat email, semuanya sangat berguna. Saya tidak nyaman membiarkan laptop saya terbuka ketika ada di ruang publik. Karena dokumen pekerjaan kita ada di sana, bahkan akun personal kita juga di sana. Sudah banyak terjadi insiden ketika data wartawan diretas, dan data itu dipublikasikan di akun Facebook sang peretas. Bagi saya, hal itu sangat tragis. Meskipun tidak disengaja, seperti karena telepon genggam kita dicuri, hilangnya perangkat penunjang profesi kita adalah masalah besar baik untuk karir professional maupun kehidupan personal kita. Seperti jika foto pribadi kita tersebar, iya kan? Kenapa kita harus membiarkan seseorang punya akses itu melakukan itu?”

Saya pikir kita juga harus berhati-hati dalam mengklik tautan. Misalnya jika kita mendapatkan email dari situs pihak ketiga, dulu saya membuka tautan itu tanpa curiga, sekarang saya tidak pernah membukanya lagi. Pasalnya, saya sekarang lebih familiar dengan spam….dan bagaimana melalui ini sejumlah hal bisa tercuri.”

Responden lain fokus pada taktik keselamatan fisik: “jika meliput ke area yang rawan bahaya, kita harus datang bersama teman. Contohnya di Hacienda Luisita, kami harus selalu membawa kawan dan tidak menginap di sana. Kami harus pulang sebelum gelap. Kami juga harus selalu mengabari teman atau keluarga melalui pesan singkat seperti “kami sudah sampai di area liputan” atau “kami sudah kembali dengan selamat.”

Ketika ditanya tentang persepsi mereka mengenai resiko bekerja sebagai wartawan, sebagian besar responden menjelaskan meningkatnya resiko dari pengawasan di dunia online. Hampir semuanya merasa yakin bahwa mereka tengah diawasi secara online. Resiko di dunia online yang mereka hadapi termasuk: agensi berita mereka diretas, diterimanya pesan-pesan provokatif yang membangkitkan emosi (troll), akun atau website dibekukan karena laporan yang masif dari pihak tertentu setelah mereka menerbitkan berita yang tidak menguntungkan pemerintahan, terakhir adalah di-bully di dunia maya.

Semua responden mengerti bahwa pekerjaan mereka mengandung resiko yang besar. Seorang responden mengajukan pendapat mengenai bagaimana menghadapi berbagai tantangan bagi keselamatan wartawan: “Kami harus mendapatkan pelatihan lagi untuk lebih waspada dan hati-hati. Enkripsi—meskipun kamu butuh kompetensi untuk menguasainya. Namun, dengan berbagai kesulitan yang harus kami hadapi untuk menerbitkan berita, saya merasa belajar tentang enkripsi menjadi tidak relevan. Mengapa saya harus mengembangkan kemampuan untuk menyembunyikan informasi ketika sudah menjadi tugas saya untuk membagi informasi? Itu paradoksnya. Pastikan saja kita berhati-hati dengan informasi yang kita dapat dan yang kita publikasikan. Selama semuanya untuk kepentingan umum.”

Kesimpulan

Wawancara di tahun 2016 ini berguna sebagai informasi dasar mengenai bagaimana wartawan memandang keamanan dan keselamatan di dunia maya. Tapi itu wawancara setahun lalu. Iklim politik dan situasi di Filipina kini telah berubah drastis. Begitu juga dengan dunia sosial media, perilaku masyarakat, dan dalam takaran tertentu budaya juga mengalami perubahan. Akan sangat menarik untuk mengeksplorasi pengalaman responden yang sama mengenai keamanan dan keselamatan profesi wartawan di Filipina tahun 2017 ini, mungkin dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Berbicara mengenai keamanan dan keselamatan wartawan, aspek digital biasanya luput dalam pembahasan atau tak terjamah sama sekali – yang bisa diartikan sebagai celah dalam pemahaman penuh kita mengenai resiko pekerjaan wartawan. Dari wawancara yang sudah diselenggarakan, kami belajar bahwa wartawan sudah menyadari akan resiko dibobolnya data digital kita, namun mereka belum sepenuhnya menyadari hubungan yang jelas antara berkomunikasi online dan keselamatan fisik wartawan. Hubungan ini harus dieksplorasi lebih jauh.

Sebagai sebuah organisasi yang menyediakan pelatihan keamanan digital, riset ini telah membuka beberapa pencerahan yang akan sangat berguna bagi pembuatan materi workshop bagi para wartawan. Spesifiknya, yakni:

  • Meyakinkan bahwa hubungan antara resiko dalam komunikasi digital dan resiko fisik akan dibuat jelas dan itu semua berdasarkan pengalaman aktual para wartawan.
  • Membuat sistem keamanan digital senyaman mungkin, mengingat sistem ini akan dikesampingkan ketika wartawan sudah fokus pada berita yang mereka buat dan pekerjaan kewartawanan lain.
  • Pelatihan mengenai keamanan digital fokus pada mengamankan komunikasi dengan narasumber dan mengamankan arsip-arsip wartawan.

[1] “PH adalah negara paling bahaya kedua bagi wartawan -IFJ” Philippine Daily Inquirer, http://globalnation.inquirer.net/135916/ph-2nd-most-dangerous-country-for-journalists-in-past-25-years-ifj

[2] Committee to Protect Journalists: https://cpj.org/asia/philippines/

[3] Database CMFR tentang pembunuhan wartawan di Filipina http://cmfr-phil.org/mediakillings/charts.php

[4] Database CMFR tentang pembunuhan wartawan di Filipina (by medium) http://cmfr-phil.org/mediakillings/charts.php

[5] “No justice yet for victims of Maguindanao carnage”’ Philippine Daily Inquirer, http://newsinfo.inquirer.net/752535/no-justice-yet-for-victims-of-maguindanao-carnage