Seringkali, pertanyaan, “Apa itu hak digital” dijawab dengan “HAM di ruang digital”, atau “HAM yang tercipta melalui penggunaan teknologi dan internet”.
HAM secara jelas didefinisikan oleh PBB melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dan telah diturunkan ke dalam berbagai peraturan hukum yang mengikat. Namun ikatan-ikatan hukum serupa tidak — atau belum — diterapkan untuk istilah apalagi hak “digital”, “teknologi”, atau “internet”. Karena itu, saat membongkar istilah-istilah ini, kita akan menemukan serangkaian tafsiran yang lebih luas.
Sebagai contoh, istilah digital seringkali digabungkan dengan online atau internet. Padahal ada banyak objek dan sistem digital yang tidak terhubung internet. Misalnya, data biometrik seperti pengenal wajah (facial recognition) dan pemeriksaan sidik jari (fingerprinting) di pos-pos perbatasan adalah salah satu contoh sistem digital yang tidak mutlak membutuhkan internet (meski mungkin terhubung ke intranet).
Begitu pula, istilah teknologi atau tech, sepanjang dekade terakhir seringkali disamakan dengan teknologi digital, sementara teknologi analog tidak lagi diperhitungkan sebagai tech karena dianggap tidak mutakhir. (Coba ketik “tech” pada mesin pencari dan lihat betapa mayoritas hasilnya akan merujuk pada “digital tech”.) Di Indonesia bahkan muncul istilah “gaptek” atau “gagap teknologi” bagi yang dianggap kurang melek literasi digital. Di tengah saturasi digital tech ini, tak ayal muncul pula kejenuhan terhadap “digital tech”, yang berdampak pada semacam romantisasi teknologi analog. Sebagai contoh, lempengan rekaman vinyl dan buku cetak sebagai teknologi analog kerap dianggap sebagai lebih “asli”, “otentik” ketimbang produk digital seperti file mp3 atau buku elektronik.
Menjelajahi definisi, menantang asumsi
Selama Kamp Coconet II hak-hak digital bulan Oktober tahun 2019 lalu, kami mengajak 120 changemakers untuk mendefinisikan hak-hak digital dalam konteks Asia-Pasifik. Tak mengejutkan, berbagai definisi bermunculan:
- Hak digital adalah pelaksanaan hak asasi manusia di dalam dunia digital.
- Hak digital adalah hak mengekspresikan diri secara aman, privat, terjamin dan berkelanjutan di dunia digital.
- Hak digital adalah hal yang mendasar dan Hak Asasi Manusia yang diwarisi untuk mempromosikan inklusi, kesetaraan, akses ke infrastruktur, dan informasi. Hak digital memastikan kontrol, otonomi, dan agensi manusia sekaligus perlindungan terhadap privatisasi, monopolisasi dan monetisasi kemanusiaan.
- Hak digital adalah Hak Asasi Manusia yang mendasar di dalam lingkup digital. Ia berupa kebebasan berekspresi, berasosiasi dan berkumpul, akses kepada peralatan internet, hak atas informasi, hak mengakses layanan (mulai dari media sosial hingga sistem kependudukan, perbankan, dan lain-lain), hak hidup dalam ruang daring aman (online safe-space) dengan aspek perlindungan keamanan (security) dan kepastian, privasi dan perlindungan data, peka-gender, anti diskriminasi, dan setara.
- Hak digital adalah seperangkat Hak Asasi Manusia universal yang memastikan setiap orang – terlepas dari jenis kelamin, usia, ras, gender, dan lainnya – memiliki akses yang sama terhadap internet terbuka yang dikelola secara inklusif, akuntabel, dan transparan, untuk memastikan terjaminnya kebebasan dan hak-hak mendasar milik rakyat.
- Hak digital adalah Hak Asasi Manusia daring yang memungkinkan akses terhadap informasi dan kebebasan berekspresi di tempat yang aman, yang menghormati privasi dan keamanan.
- Hak digital adalah Hak Asasi Manusia yang melekat pada pengguna maupun bukan pengguna TIK (teknologi informasi dan komunikasi). Ia akan memastikan akses ke hak yang sama terhadap informasi, teknologi, dan pengetahuan; bebas dari kekerasan, pengawasan (surveillance), dan diskriminasi; dan menghormati privasi, otonomi dan penentuan nasib sendiri.
- Hak digital adalah HAM daring yang peduli soal akses, partisipasi, keamanan data dan privasi, dengan merengkuh nilai kemanusiaan atas kehormatan, penghargaan, kesetaraan, keadilan, tanggung jawab, kesepakatan (consent) dan keberlangsungan lingkungan hidup.
- Hak digital memberdayakan manusia melawan perusahaan-perusahaan dan mendorong partisipasi yang setara dan adil.
Jawaban dari Coconet II ini menggemakan jawaban kalimat pendek yang sering kita dengar tentang hak asasi manusia di lingkungan digital di awal artikel ini. Namun jawaban-jawaban ini juga menunjukkan bahwa tidak seperti hak asasi manusia (HAM) yang didefinisikan dengan jelas dan mengikat secara hukum, penafsiran istilah digital, internet, dan teknologi sangatlah beragam, dengan istilah digital terkadang disamakan dengan daring atau terhubung ke internet.
Istilah lain yang kerap muncul dalam pola dikotomi adalah “nyata (real)” dan “virtual”, yang seolah mengatakan interaksi fisik sebagai lebih “nyata” ketimbang interaksi digital atau “virtual”. Tetapi jika kita membuat asumsi itu, apakah kita mengatakan bahwa semua interaksi digital tidak nyata? Dan apa implikasi dari asumsi ini? Apakah ini menyiratkan bahwa ruang “virtual” dan pelecehan daring tidak “nyata”? Dan, akibatnya, apakah semua interaksi fisik selalu nyata? Apakah kita bisa menentukan batasan antara daring dan luring dengan tegas, atau apakah keduanya saling memengaruhi, sehingga melibatkan satu sama lain?
Dari pembahasan singkat di atas, kita dapati muncul berapa istilah terkait yang seringkali dipasangkan sebagai lawan biner. Misalnya: daring – luring; digital – analog atau fisik; nyata – virtual.
Tentu saja, semua definisi dan asumsi ini terbuka untuk dibahas. Artikel ini tidak bertujuan untuk memberikan jawaban yang definitif atau komprehensif. Sebaliknya, kita perlu menantang asumsi dan ingin mengajak Anda menjelajahi kompleksitas mendefinisikan hak digital.
Mengenali dan mengonsep kerangka kerja hak digital hak digital
Deklarasi Afrika soal Hak dan Kebebasan Internet merupakan deklarasi berskala luas yang mendalami prinsip-prinsip untuk menegakkan hak-hak rakyat dalam ruang daring, sehingga dapat mempertemukan perkembangan kebutuhan dan tujuan sosial-ekonomi Afrika. Pada 2015, masyarakat sipil Filipina memaklumkan Deklarasi Prinsip dan Kebebasan Internet Filipina, sebuah deklarasi berkode terbuka yang mencerminkan impian, harapan, dan aspirasi masyarakat Filipina mengenai internet.
Sementara itu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2015 mengidentifikasi lebih dari 50 kerangka kerja dan deklarasi khusus Internet. Di tahun yang sama, Berkman Klein Center for Internet and Society Research, mendapati 30 konstitusi semacam itu beserta 42 daftar hak-hak, yang dikategorisasikan ke dalam tujuh tema. Tiga tema utama yang disoroti karena keluasan cakupannya dalam kerangka kerja tersebut antara lain adalah: kebebasan berekspresi, hak privasi, dan hak untuk mengakses internet. Tema penting lainnya adalah kebebasan informasi, transparansi, dan keterbukaan proses dan jaringan tata kelola internet.
Menawarkan empat ruang hak digital
Jun-E Tan, seorang peneliti independen dan peserta Coconet II dari Malaysia yang telah melakukan penelitian tentang hak digital di sejumlah negara di Asia Tenggara, menunjukkan bagaimana beberapa studi atau dokumen tentang hak digital sebetulnya malah mempersempit ruang lingkup pembahasan menjadi “dua hingga tiga hak teratas untuk melanjutkan kerja analitis atau advokasi praktis mereka”. Namun tanpa melakukan kerangka konseptualisasi, ujarnya, kita berisiko mengabaikan atau mengorbankan hak-hak asasi yang penting dengan mempedulikan hanya hak-hak yang telah lebih umum dikenal .
Dalam kertas kerja risetnya tahun 2019 mengenai hak-hak digital di Asia Tenggara, Jun-E menawarkan untuk memperluas konsep hak digital dengan mempertimbangkan empat ruang cakupan, yakni:
- dengan melihat digital sebagai HAM konvensional di ruang digital;
- dengan melihat digital sebagai representasi data dari entitas fisik, sehingga perlu memfokuskan hak digital pada keamanan dan privasi data;
- akses ke ruang digital dan partisipasi yang bermakna; dan
- partisipasi dalam tata kelola digital atau Internet.
Tentu saja, kerangka kerja Jun-E bukanlah satu-satunya yang benar, sah, atau valid, namun tawaran kerangka kerjanya baru dibangun dari riset di beberapa negeri Asia Tenggara, khususnya Malaysia, Thailand, dan Filipina. (Untuk mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk dan tantangan soal konsep hak digital dalam konteks Asia Tenggara, Anda bisa mengakses penelitiannya.)
Seperti yang telah ditekankan di seluruh artikel ini, ada banyak cara yang bisa digunakan untuk membingkai hak digital, terutama yang berkaitan dengan konteks dan pengalaman yang berbeda di kawasan Asia-Pasifik. Semoga dengan membagikan definisi-definisi di atas dari anggota komunitas Coconet, kami dapat berkontribusi dalam membangun strategi dan gerakan penegakan hak-hak digital — dan memikirkan ulang apa yang mendapat perhatian dan apa yang diabaikan dalam pendefinisian batas-batas hak digital. Jika Anda memiliki ide atau saran, sudi kiranya mengontak kami.
Kathleen Azali adalah Manager Program Hak Digital – Digital Rights Program Manager of EngageMedia. Dia merupakan periset & aktivis yang melakukan kerja di antara sejumlah bidang informasi, teknologi, desain dan ekonomi politik.