“Kenapa Jaringan Internet Di Putus? (red)” Ditangkap dari video Pemutusan Jaringan Internet di Papua dari West Papua Updates (WPU), digunakan dengan izin WPU.
Read this article in English
Awal bulan Juni 2020, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyatakan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden RI dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), telah melanggar hukum atas tindakan pelambatan (throttling) dan pemblokiran internet di beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019. Kasus yang terjadi selama kurang lebih satu bulan dari tanggal 19 Agustus hingga 28 September 2019 ini diajukan ke PTUN oleh koalisi kelompok masyarakat sipil yang ada di Asia Tenggara.
Kemenangan Tim Pembela Kebebasan Pers atas gugatan pada Menkominfo dan Presiden RI, menjadi contoh baik menyikapi cara pemerintah menerapkan otoritasnya dalam pengelolaan Internet. Proses yang panjang, mulai dari pertemuan tatap muka dengan Kemkominfo, memenangkan petisi daring, rupanya masih harus dibawa ke jalur hukum.
Putusan ini menjadi sangat penting mengingat selama ini, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di dalam maupun tentang Papua berada dalam status quo narasi hiper nasionalisme. Narasi ini memaksa Papua untuk tunduk pada Indonesia dan menuduh semua upaya untuk membela hak-hak warga Papua, serta protes terhadap rasisme dan diskriminasi yang mereka alami, sebagai “separatis”. Pada akhirnya, pemblokiran internet ini adalah upaya untuk membungkam protes melawan rasisme dan diskriminasi terhadap warga Papua.
Pemblokiran Internet pada 2019
Pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat bukanlah kali pertama bagi pemerintah Indonesia. Sepanjang 2019, Indonesia telah mengalami beberapa kali situasi pelambatan Internet, khususnya untuk mengakses layanan media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, dan Instagram.
Setidaknya ada dua kejadian yang melatari diputusnya akses komunikasi melalui Internet di Papua dan Papua Barat dalam kurun waktu tersebut, yakni pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan tindakan rasis lain di Malang, dan meningkatnya ketegangan dalam aksi-aksi anti rasisme di Papua dan Papua Barat karena reaksi aparat keamanan.
Namun, dalam siaran persnya Kemkominfo maupun Sekretariat Kabinet [Setkab] RI, beralasan, blokir akses Internet adalah langkah menekan “penyebaran hoaks dan provokasi”.
Melalui Siaran Pers No. 106HM, Rudiantara yang menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika/Menkominfo RI saat itu menyatakan, pembatasan didasarkan pada UU ITE, yakni mengenai manajemen konten.
Kejadian ini dilatari pengumuman hasil Pemilihan Presiden 2019. Pengguna media sosial aktif Indonesia turut menyemarakkan protes warganet terhadap keputusan pemerintah.
Menkominfo, Rudiantara umumkan keputusan pemerintah membatasi akses media sosial dan messaging system pasca kericuhan Rabu dini hari (22/05) di Jakarta. Tujuannya: meredam situasi dan cegah viralnya hoaks yang bisa menyulut emosi publik. @kemkominfo #WhatsAppDown #instagramdown pic.twitter.com/pp0otqnRu3
— DW Indonesia (@dw_indonesia) May 22, 2019
Selanjutnya, dalam siaran pers 27 Mei 2019, Rudiantara menyebutkan tiga langkah yang dilakukan pemerintah, antara lain:
- Menutup akses tautan konten atau akun yang terindikasi menyebarkan hoaks
- Bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk menutup akun
- Membatasi akses terhadap sebagian fitur platform digital atau berbagi file
Tak hanya melalui Kemenkominfo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pun menyatakan telah membatasi akses media sosial untuk pengguna internet di Indonesia.
Perjuangan menulis Papua bukan hanya soal pembaca yang terjebak di bubble NKRI, wartawan juga masih banyak bias, karena sudah terbiasa hanya menerbitkan rilis dari sisi pemerintah saja. Begitulah. Perjalanan pers Indonesia masih panjang. Masih perlu banyak pengalaman.
— Febriana Firdaus (@febrofirdaus) June 3, 2020
Setelah Putusan, Lalu Apa?
Seiring dukungan yang menguat terhadap penegakan HAM di Indonesia, ancaman terhadap pers dan pembela HAM meningkat.
Tindakan pelambatan dan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat ini selain mengancam salah satu pilar demokrasi, masih ditambah dengan tingginya nilai kerugian akibat pembatasan dan pemblokiran Internet di Papua dan Papua Barat, yakni sekitar Rp 2,6 Triliun.
Kemenangan Tim Pembela Kebebasan Pers adalah bukti konsistensi masyarakat sipil dan pers memperjuangkan hak-hak digital warga negara, khususnya dalam mengakses informasi dan hak atas rasa aman.
Menanggapi putusan ini, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan kuasa hukum dari pemerintah. Oleh karena itu, mari kita kawal putusan majelis hakim PTUN Jakarta, Rabu, 3 Juni 2020, yang menyatakan Menkominfo dan Presiden RI telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan memperlambat dan memutus akses Internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019.
About the Author
Artikel ini ditulis dan diedit oleh Fendi Widianto, Nikholas Borang, Pitra Hutomo, dan Kathleen Azali dari EngageMedia. Untuk mengetahui lebaih banyak cerita tentang Papua dan Papua Barat, silahkan kunjungi PapuanVoices.net.